Polemik Pasal Penghinaan Presiden dalam RUU KUHP
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) kembali menjadi sorotan publik, terutama terkait dengan pasal-pasal yang mengatur tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Pasal-pasal ini menuai kontroversi karena dianggap berpotensi mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi.
Kritik terhadap pasal penghinaan presiden bukan barang baru. Pada tahun-tahun sebelumnya, pasal serupa pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena dinilai bertentangan dengan prinsip negara hukum yang demokratis. MK berpendapat bahwa pasal tersebut terlalu karet dan rentan disalahgunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah.
Namun, pasal penghinaan presiden kembali muncul dalam RUU KUHP yang sedang digodok saat ini. Pemerintah berdalih bahwa pasal ini diperlukan untuk menjaga kehormatan dan martabat presiden sebagai simbol negara. Pemerintah juga menjamin bahwa pasal ini tidak akan digunakan untuk memberangus kritik yang konstruktif.
Meskipun demikian, banyak pihak tetap khawatir bahwa pasal penghinaan presiden dapat menjadi alat untuk mengkriminalisasi perbedaan pendapat. Mereka berpendapat bahwa definisi penghinaan yang terlalu luas dapat menjerat siapa saja yang mengkritik kebijakan pemerintah, bahkan jika kritik tersebut disampaikan dengan cara yang sopan dan santun.
Perdebatan mengenai pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP menunjukkan betapa kompleksnya isu kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia. Di satu sisi, negara perlu melindungi kehormatan simbol-simbol negara. Namun, di sisi lain, negara juga wajib menjamin hak warga negara untuk menyampaikan pendapat dan kritik terhadap pemerintah tanpa rasa takut.
Pada akhirnya, keseimbangan antara kedua hal ini menjadi kunci untuk menciptakan iklim demokrasi yang sehat dan dinamis. Pemerintah dan DPR perlu mendengarkan aspirasi masyarakat sipil dan mempertimbangkan dengan matang implikasi dari setiap pasal dalam RUU KUHP, termasuk pasal penghinaan presiden. Dialog yang terbuka dan partisipatif adalah cara terbaik untuk mencapai konsensus yang adil dan berkeadilan bagi semua pihak.
Tanggal: 16 Oktober 2024